TERBAIKNEWS.com | Taukah kalian bahwa esensi dari pendidikan dapat dianalogikan dengan pentingnnya informasi ketika seseorang berwisata?. Karena saat seseorang berwisata pasti ia memiliki tujuan.
Seseorang tidak bisa mencapai tujuan itu jika tidak tahu mana jalan yang harus ditempuh, mana bus yang harus dinaiki, dan dimana Lorong yang harus dimasuki. Ketidaktahuan akan menyebabkan ketidakpastian, kesesatan, keterlambatan, dan ketertinggalan. Begitu juga dengan hidup ini. Manusia membutuhkan pengetahuan agar kehidupan diiringi dengan panduan sehingga manusia akan lebih memahami situasi yang ia hadapi. Dengan pengetahuan cara pandang manusia akan lebih luas dan berfikir jauh ke depan.
Pemahaman ini harus disadari oleh semua umat manusia termasuk masyarakat Indonesia. Namun tampaknya masyarakat Indonesia cukup lalai dengan pemahaman ini.
Hal ini dibuktikan oleh angka-angka yang dirilis oleh lembaga seperti OECD (Organization For Economic Cooperation and Development) yang mengidentifikasi anak-anak berumur 15 tahun terkait kemampuan membaca, matematika, dan sains mereka. Hasil riset yang dinamakan score PISA ini menyebutkan bahwa pada tahun 2022, anak-anak Indonesia masih berada pada urutan ke 69 dari 81 negara. Tak sebanding dengan negara-negara tetanngga seperti Vietnam berada pada urutan ke 34 dan Singapura pada urutan pertama.
Apakah ini menjadi masalah?, tentu saja iya. Karena jika kemampuan pelajar indonesia dalam menguasai tiga bidang tersebut rendah, maka kemampuan riset STEM (Science, engineering, technology, and Mathematics) di Indonesia juga akan rendah. Padahal kemajuan teknologi di sebuah negara perlu ditopang dengan SDM yang memumpuni di bidang tersebut.
Kita tidak mungkin selamanya menjadi konsumen dari produk-produk teknologi, suatu saat kita harus menjadi produsen. Tidak mungkin kita selalu dilihat sebagai negara yang hanya bertumpu pada sektor barang mentah.
Bayangkan jika semua produk tambang dan minyak di Indonesia diolah sendiri di dalam negeri, bagaimana jika semua petani di Indonesia memiliki traktor penggarap lahan yang canggih, dan bagaimana jika nelayan-nelayan di daerah kepulauan memiliki pabrik pengolahan produk perikanannya sendiri. Tentu pendapatan pekerja di Indonesia akan meningkat drastis.
Namun hal ini mustahil jika riset teknologi masih rendah. Kenyataannya kondisi ini paralel dengan angka GDP per-kapita yang sangat rendah. Menurut World Bank pada tahun 2022, GDP per kapita Indonesia hanya berkisar pada 4,788 USD. Sedangkan Singapura berkisar pada 82,807 USD. Ironinya hal ini dapat diartikan pendapatan 1 orang di Singapura sama dengan pendapatan 17 orang di Indonesia.
Sekali lagi apakah ini menjadi masalah?, tentu iya. Karena status perekonomian dan pendidikan masyarakat yang rendah akan berdampak pada sektor sosial dan politik disebuah negara. Karena di negara demokrasi yang baik, partisipasi aktif dan sifat kritis masyarakat sangat diperlukan. Jika tidak, maka tidak ada check and balance antara Masyarakat dan penguasa.